TEMANGGUNG, suaralama.id – Pesantren Abata yang terletak di Kelurahan Manding, Kecamatan Temanggung, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, berbeda dengan pesantren pada umumnya.
Dengan konsep islamic boarding school tunarungu, Pesantren Abata menjadi rintisan pesantren tunarungu gratis pertama di Indonesia dengan metode yang terpadu.
“Dari awal mendirikan abata ini konsep kami memang bebas biaya, namun kami membrikan kesepatan untuk orang tua yang memiliki kelonggaran bisa menyumbang tetapi kami tidak mematok seberapa besar dan harus kapan,” kata Muhlisin pendiri pesantren Abata, Selasa (05/04).
Menjadi pelopor pertama berdirinya pesantren untuk anak tuna rungu berdiri 2016 lalu, pesantern seperti ini juga sudah hadir di Yogyakarta serta Gorontalo, namun di abata ini mengggunakan metode lisan.
“Yang di Jogja dan Gorontalo ini juga sahabat-sahabat saya, namun menggunakan metode bahasa isyarat,” katanya.
Terapi dengan metode lips reading atau visual phoenik merupakan pemeblajaran materi secara visual penglihatan. Santri-santri diharapkan bisa berkomunikasi secara verbal, setiap hari para santri melakukan terapi wicara dari guru yang telah bersertifikat.
Proses terapi wicara menjadi bagian sangat penting bagi para santri agar dapat melakukan komunikasi kepada orang lain, dan tidak hanya kepada sesama disabilitas.
Dengan penuh sabar dan tekun mengajarkan kepada santri yang memiliki gangguan pada pendengaran, mereka diajarkan mengaji sehingga bisa melafalkan surat-surat Alquran.
“Kami ada waktu observasi selama tiga bulan memastikan anak disini sudah mandiri, agar anak-anak bisa fokus untuk belajar, jika kita masih mengajarkan kemandirian kami pasti akan membutuhkan SDM lagi,” tambahnya.
Seiring dengan berkembangnya kurikulum dan kemampuan lebih para santri di sini, mereka juga diajarkan mata pelajaran layaknya anak-anak normal. “Disini menggunakan managemen asrama, belajar koten keagaman ibadah, adab, termasuk menghafal al quran selain itu pelajaran agademik ada matematika, ipa, ips, dan pengetahuan umum,” katanya.
Di Abata ini terdapat berbagai kelas sesuai dengan umur dari para santri. Kurikulum yang diajarkan merupakan kurikulum tersendiri, berbeda dengan kurikulum kebanyakan karena keterbatasan para santri berkomunikasi.
Karena keterbatasan tempat dan asrama, Pesantren Abata hanya mampu menampung 40 santri perempuan. “Pengajar disini ada 20, kami juga akan membuka tingkatan SMP rencana bulan juli karena disini masih setingkat SD dan anak-anaknya juga lulusan dari sekolah sini,” jelasnya.
Pesantren Abata ini merupakan rintisan Mukhlisin Nuryanta, yang awalnya merasa kesulitan untuk mendapatkan pendidikan bagi putri sulungnya yang mengalami tunarungu sejak berusia 3 tahun.
Sebelumnya sekitar 4 tahun lalu pesantren ini masih berupa sanggar belajar untuk anak tunarungu wicara bernama Rumah Abata.
Lalu kemudian berubah menjadi pesantren karena pihak pengelola menilai anak tunarungu wicara juga butuh ilmu tentang beribadah yang benar dan berlatih konsisten melaksanakan jadwal ibadah.
Para santri akan melewati masa pendidikan 6 tahun setingkat SD. Para santri yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia seperti Kalimantan, Lampung dan Jawa Barat.
“Rata-rata dari mereka yang baru pertama kesini belum bisa mengeluarkan suara sama sekali, tetapi dengan pemeblajaran disini dengan guru yang terlaltih sedikit-demi sedikit sudah bisa mengucapkan salam,” tuturnya.
Salah satu santri, Anin asal Wonosobo, mengaku awalnya susah mengikuti pelajaran di pesantren ini. Materi yang diajarkan banyak, tapi dia sangat suka belajar menggambar, tema, dan matematika.
Senada dengan Anin, Zanuba, salah satu santri dari Semarang mengaku sangat senang mengikuti pendidikan di Pesantren Abata ini. Dia paling senang bekajar hafalan semua pelajaran.