WONOSOBO, suaralama.id – Alat transportasi tradisional dokar pernah mengalami masa kejayaan pada tahun 80an. Sukardi (63), seorang sais atau kusir dokar yang masih bertahan sampai hari ini. Dia memiliki cita-cita turut membangkitkan pariwisata Wonosobo dengan dokar wisata.
Umur yang sudah di kepala enam tak membuat pria yang karib disapa Kardi ini berhenti menjadi sais dokar. Dia menggeluti dunia ini sudah sejak ia lulus dari bangku SMP, pada tahun 1977. Saat itu dia memang sudah hobi dengan kuda, baik jual beli maupun ikut pacuan dan memutuskan menjadi seorang sais.
“Waktu itu saya jadi sais dokar termuda, dari keluarga hanya saya yang jadi kusir. Waktu itu kan belum ada angkutan umum jadi hasil narik dokar lumayan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dulu saya punya kuda putih dan gagah, saya beri nama Semeru,” jelas Kardi yang ditemui di kediamannya Munggang RT 1 RW 11 Kalibeber Mojotengah.
Dari hasil menarik dokar, Kardi berhasil menyekolahkan keempat anaknya. Dia bersama istrinya begitu mengutamakan pendidikan bagi tiga putra dan satu putrinya. Ketiga anak laki-lakinya mengenyam pendidikan kejuruan otomotif.
“Salah satunya buka bengkel di rumah, dulu dia bekerja di sebuah dealer motor. Anak pertama sekarang di luar kota, yang bungsu sedang saya bujuk kuliah dan yang perempuan sudah menikah,” papar Kardi.
Dia mengatakan, pernah mencoba untuk berpaling dari dokar. Ditambah lagi sang istri yang ingin dia berhenti menarik dokar, dengan alasan sudah berumur dan tak tega melihat Kardi merumput serta menyiapkan semua perlengkapan dokar sendirian.
“Dulu saya pernah coba menambal ban setahun ya lumayan hasilnya tapi kaya tidak suka akhirnya balik lagi. Padahal istri ya sering nangis lihat saya pontang panting sendiri,” ungkanya.
Kardi mengatakan, masa kejayaan dokar mulai pada tahun 1988. Tercatat sekitar 600 sais dokar se Wonosobo dan dia menjadi koordinator. “Tahun itu ada penilaian Adipura Kencana. Walaupun ada banyak dokar, tapi Wonosobo tetap bersih karena kami sering mengadakan keja bakti kebersihan kota,” kenang Kardi.
Dikatakan Kardi, pada masa itu juga pemerintah begitu menaruh perhatian terhadap sais dokar. Terbukti dilaksanakan berbagai perlombaan, seperti lomba hias dokar, cerdas cermat dan sopan santun berlalu lintas. Di rumah Kardi nampak beberapa piala penghargaan, dimana Kardi mendapat juara cerdas cermat dan sopan santun berlalu lintas.
“Ini hanya sisa beberapa saja, dulu saya banyak piala tapi sudah pada rusak. Terakhir ada perlombaan terkait kuda pada 2001, setelah itu sudah tidak ada lagi. Padahal kami sais dokar juga ingin pintar, paling tidak pemerintah mengadakan lagi kompetisi seperti itu,” kata pria berpawakan pendek kekar ini.
Dokar mulai menyusut sejak angkutan umum mulai menjamur. Menurut Kardi, sekarang hanya ada 50 sais dokar yang berada di area Kota Wonosobo. Dia sedang berupaya untuk menjadikan sebagian dokar di Wonosobo untuk kepentingan pariwisata, tentu dengan proses seleksi.
“Fisik sais harus rapi dan paling tidak bisa berbahasa Inggris sedikit, dokar dibuat sebagus mungkin, pakaian seragam seperti di Yogyakarta. Kalau sudah nanti kami bisa tata dan bagi siapa tahu bisa kerja sama dengan hotel-hotel. Semoga pemerintah bisa segera mewujudkannya,” pungkas Kardi. (ang)