YOGYAKARTA, suaralama.id – Tak salah dan tak perlu disanggah jika Jogja menyandang julukan Kota Istimewa. Hal itu lumrah sebab di kota ini terdapat sederet tokoh kondang terlahir dengan bakat dan keistimewaan yang tak dimiliki sembarang orang.
Tokoh ternama tersebut beberapa diantaranya merupakan seorang seniman yang memiliki karya dan kreativitas segudang. Seniman yang tinggal menetap di Yogyakarta salah satunya adalah Didik Hadiprayitno atau yang dikenal luas dengan nama Didik Nini Thowok.
Didik merupakan penari legendaris kelahiran Temanggung, November 1954. Selain menari, dia juga terampil di bidang komedi, koreografi, pantomim dan menyanyi. Bahkan berkat menggeluti dunia seni tari selama beberapa tahun Didik dijuluki sebagai “Maestro Tari Indonesia”.
Label maestro tari disematkan pada diri Didik bukan tanpa alasan. Pasalnya, kepiawaian Didik menampilkan gerakan tari dari berbagai daerah di Indonesia sudah diakui publik dan dinikmati jutaan pasang mata di Nusantara bahkan hingga ke daratan Eropa.

Nama besar Didik Nini Thowok sebagai salah satu penari tersohor di Tanah Air tidak didapat secara mudah atau instan. Demi meniti karir sebagai seorang penari profesional, Didik harus mengalami proses yang panjang dan tentu tidak mudah.
Meski terlahir sebagai keturunan etnis Tionghoa, namun semangat melestarikan kesenian Nusantara tumbuh dan mengakar pada diri Didik. “Aku suka menari sejak kecil. Aku pelajari secara otodidak dari teman sekolah waktu masih di Temanggung,” kata Didik Nini Thowok, Selasa (14/9/2022).
Saat dijumpai di rumahnya yang berada di Perumahan Jatimulyo Baru, Tegalrejo, Kota Yogyakarta, Didik mengisahkan perjalanan hidup dan karirnya sebagai seorang penari kawakan Indonesia.
“Untuk bisa sampai di titik seperti sekarang ini butuh perjalanan panjang yang tak banyak orang tahu. Bakat aku sebetulnya seni rupa alias melukis. Sedangkan menari hanya hobi yang tak tekuni dan ternyata bisa jadi profesi,” tutur Didik.
Masa kecil hingga remaja Didik Nini Thowok dihabiskan di tempat kelahirannya yaitu Temanggung. Di sana ia menyelesaikan pendidikan hingga tamat bangku SMA. Barulah ketika beranjak dewasa Didik membulatkan tekad untuk kuliah di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Yogyakarta.
Kendati terlahir sebagai seorang pria, Didik justru cenderung menunjukkan karakter dan pembawaan seperti perempuan alias feminim. Tapi siapa sangka sesuatu yang kadang dianggap tak lazim itu justru bisa mengantarkan Didik sebagai penari multitalenta.
“Menjadi feminim itu sudah kayak bawaan keluarga,” sambung Didik. Dia menyebutkan karirnya sebagai penari bermula ketika berkuliah di ASTI Yogyakarta sekarang Institute Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Didik nekad berangkat ke Jogja bermodal uang tabungan hasil membuat aneka kerajinan sulam dari benang wol. Dia mengaku keterampilan tersebut di turunkan oleh sang nenek.
“Awalnya mau lanjutin kuliah ambil jurusan seni rupa. Tapi dapat masukan dari teman kalau biaya di seni rupa lumayan mahal karena butuh berbagai alat lukis seperti kanvas atau kuas. Dan itu belinya berkala,” ungkap Didik.
Kemudian salah seorang teman lainnya menyarankan Didik untuk mengambil jurusan tari. Alasannya biaya pendidikan di jurusan tari cenderung lebih rendah dan perlengkapan yang dibutuhkan juga jauh lebih sedikit.
Usulan temannya untuk masuk ke jurusan seni tari diiyakan Didik. Pertimbangannya karena teman Didik tersebut menjanjikan bakal bersedia meminjamkan berbagai perlengkapan untuk berlatih menari.
Asal Mula Nama Nini Thowok
“Titik awal yang jadi penanda awal karir aku di bidang tari itu waktu senior di kampus mengajak pentas. Namanya mbak Tutik. Dia mengajak mementaskan suatu kisah tari komedi. Di sana aku memerankan karakter Nini Thowok (sosok dukun perempuan tua),” ucap Didik.
Kesuksesan Didik memerankan tokoh nenek tua itu rupanya membuat namanya kian melambung. Penampilan apik yang disuguhkan Didik ternyata diapresiasi banyak orang. Bahkan kata Nini Thowok melekat dan jadi nama belakang Didik hingga saat ini.
Lebih lanjut Didik menceritakan, usai lulus dari ASTI Yogyakarta dirinya merintis lembaga pendidikan kejuruan bernama Sanggar Tari Natya Laksitha. Di saat bersamaan Didik juga diberi kepercayaan menjadi asisten dosen di ASTI untuk mengajar mata kuliah tata rias.
“Aku mengabdi di ASTI sekitar 8,5 tahun. Di sana jadi dosen honorer jadi upahnya hanya sedikit Rp 40 ribu per bulan,” kisahnya. Diakui Didik, masa kuliah di ASTI memberikan banyak pengalaman berharga serta bisa kenal dengan mahasiswa yang berasal dari luar negeri. Dari sanalah dia mulai memiliki banyak teman.
Sambil mengajar di ASTI, sanggar tari yang dirintis Didik perlahan mulai berkembang dan dapat memberikan hasil secara materil. Sejak saat itu tekad Didik untuk memperdalam ilmu tari semakin kuat. Dia bahkan rela menjual mobil untuk bisa berangkat ke luar negeri.
“Beberapa mahasiswa aku yang kuliah di ASTI berasal dari luar negeri. Salah satunya berasal dari Belgia. Dia ini kebetulan cukup dekat sama aku. Pas selama kuliah di sini aku banyak bantuin dia, aku bantuin cari kos dan lain-lain,” ujar Didik mengenang.
Temen bule Didik itu sepertinya ingin balas budi dengan Didik karena selama ini Didik sudah banyak membantunya. Bule berinisial FF ini menawarkan Didik berangkat ke Belgia. “Kalau mas Didik mau berangkat ke Belgia belajar tari di Eropa aku bisa bantu makan dan tempat tinggal. Mas Didik beli tiket saja pulang-pergi,” kata Didik menirukan ucapan teman bulenya.
Setelah niatnya sudah mantap, Didik memberanikan diri berangkat sendirian ke Eropa. Di sana ia berbekal uang hasil jual mobil dan 1 unit kamera. Kamera itu, kata Didik, dipakai untuk mengabadikan setiap momen penting dan menarik selama tinggal di Belgia.
Di Belgia, Didik belajar tarian dari tempat asalnya langsung. Menurutnya dengan datang langsung proses belajar jadi lebih efektif karena mengamati tarian dari dekat. Untuk belajar dan mengenalkan diri kepada penduduk lokal di sana, Didik berpindah dari satu sanggar ke sanggar lainnya.
“Pelan-pelan setelah di Eropa mulai dikenal banyak orang, tiap aku pentas sudah pakai tiket. Jadi bisa dapetin uang. Aku pernah pentas di 5 benua. Kalau jumlah negaranya lupa mungkin ada sekitar 30 negara,” tutur Didik.
Semenjak dari Belgia, dan tampil di berbagai negara Eropa lainnya seperti inggris dan Perancis, nama Didik Nini Thowok mulai dikenal masyarakat luas. Dengan nama besar yang sudah disandangnya, Didik mulai mendapat tawaran tampil ke berbagai tempat. Karir profesionalnya pun sudah diakui publik.
“Aku masih ingat sekitar tahun 1979-an pas awal dikenal di Indonesia. Dulu video tari Nini Thowok tayang di program Bhineka Tunggal Ika TVRI. Video aku nari itu diputar di perwakilan TVRI seluruh Indonesia. Mungkin dari situlah masyarakat Indonesia mulai mengenal aku,” sambung dia.
Bagi Didik menjadi seorang seniman bukanlah pilihan yang mudah. Saat memutuskan berkarir di bidang tari, rekan sesama dosen di ASTI menilai profesi sebagai seniman tari tidak bisa untuk hidup karena dinggap hasilnya tidak jelas, beda halnya kalau menjadi pegawai.
Didik menganggap cibiran dari orang-orang terdekatnya itu sebagai cambuk semangat yang justru semakin memperteguh niat untuk jadi seorang seniman. Apalagi latar belakang akademis sebagai alumni ASTI Yogyakarta tentu akan sangat membantu Didik mewujudkan impiannya.(Muhammad Rizal Al Kurni)