SUARALAMA.ID, Yogyakarta – Jika Anda berkunjung ke Yogyakarta, luangkan waktu untuk menjelajahi Jalan Plengkung Gading di Jalan Patehan Kidul No 4, Patehan, Kecamatan (Kapanewon) Kraton, Kota Jogja, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Plengkung Nirbaya, yang lebih dikenal sebagai Plengkung Gading di kalangan masyarakat umum, merupakan sebuah bangunan bergaya Belanda. Terletak di selatan Kota Jogja, bangunan ini berjarak sekitar 300 meter dari Alun-Alun Kidul atau Alun-Alun Selatan.
Jalanan di bawah Plengkung Nirbaya selalu ramai dengan kendaraan, dan kawasan sekitar Plengkung Gading juga sering dikunjungi oleh orang-orang yang ingin menikmati atmosfernya. Yang menarik, terowongan ini memiliki atap yang dapat digunakan untuk bersantai.
Plengkung Gading menjadi satu-satunya gapura yang memberikan akses ke bagian atasnya. Sebuah tangga di sisi utara memungkinkan pengunjung naik dan menikmati pemandangan Kota Jogja dari ketinggian.
Plengkung Nirbaya atau Plengkung Gading ini memiliki makna sebagai gerbang menuju kerajaan dan kata “nirbaya” sendiri mengandung arti “bebas dari bahaya duniawi”.
Bersama dengan empat plengkung lainnya, yaitu Plengkung Tarunasura, Plengkung Madyasura, Plengkung Jagasurya, dan Plengkung Jagabaya, Plengkung Nirbaya menjadi bagian dari warisan budaya Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat dan menjadi salah satu ikon Kota Jogja.
Keraton sendiri merupakan tempat istimewa yang menjadi istana resmi Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang juga menjabat sebagai gubernur dan raja di Yogyakarta. Pada masa lalu, Plengkung ini menjadi gerbang utama masuk dan keluar dari keraton.
Kelima plengkung tersebut mengelilingi kawasan keraton dari berbagai arah. Plengkung Tarunasura di utara, Plengkung Madyasura di timur, Plengkung Jagabaya di barat daya, Plengkung Jagasura di barat, dan Plengkung Nirbaya sebagai gerbang di selatan.
Jika diperhatikan dengan seksama, terdapat ukiran burung di bagian atas Plengkung Nirbaya yang sedang mengisap sari bunga, disebut sebagai lajering sekar sinesep peksi dalam bahasa Jawa. Deretan angka pada ukiran tersebut menunjukkan tahun pembangunan gapura, yaitu 1961.
Ketika mengunjungi Plengkung ini, Anda akan melihat sebuah menara sirine yang masih digunakan. Menara tersebut hanya aktif pada dua momen, yaitu setiap tanggal 17 Agustus untuk memperingati kemerdekaan dan menjelang waktu berbuka puasa di bulan Ramadan.
Perlu dicatat bahwa Plengkung Nirbaya merupakan pintu keluar satu-satunya bagi raja yang telah meninggal dunia sebelum disemayamkan di Makam Raja-Raja Imogiri. Sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I, Plengkung Nirbaya tidak boleh dilalui oleh sultan yang masih hidup, namun hal ini berlaku sebaliknya untuk masyarakat umum.
Jika ada warga yang meninggal dunia, meskipun rumahnya dekat dengan Plengkung Nirbaya, ia harus mencari jalur lain untuk dilewati.
