PURBALINGGA, suaralama.id – Menyajikan cerita Raden Ajisaka bertempur menundukan Raja Medangkamulan Dewata Cengkar yang selalu membuat kegaduhan dan keonaran di ngerinya sendiri, Ki dalang Kusno dari Umah Wayang Purbalingga menyuguhkan cerita tersebut dalam kemasan pentas seni Wayang Jemblung.
Pentas Wayang Jemblung Umah Wayang disajikan sebagai pembuka Bazaar Art Purbalingga di Klenteng Hok Tek Bio, Jum’at (14/1/2022).
Ki Dalang Kusno menjelaskan, dalam sejarah tanah Jawa ada sebuah mite cerita tentang datangnya kesatria dari manca negara bernama Ajisaka ke bumi Jawa Dwipa yang berhasil menciptakan perdamaian di negara Medangkamulan.
Ajisaka berhasil mengalahkan Raja Dewata Cengkar yang terkenal angkaramurka dengan cara diceburkan ke laut selatan.
“Konon ceritanya prabu Dewata Cengkar adalah raja yang sakti mandraguna, tapi prilakunya sering merugikan masyarakat. Kesukaan makan enak dan makan sesaji daging manusia perjaka muda, membuat masyarakat di kerjaan Medangkamulan resah dan ketakutan,” katanya.
Suatu hari, lanjut Kusno, Ajisaka menghadap prabu Dewata Cengkar dengan maksud menghentikan kebiasaanya yang merugika dan membuat ketakutan warga Medangkamulan. Ajisaka siap menjadi pengganti sebagai tumbal menggantikan perjaka yang saat itu belum ditemukan sebagai sajian makan.
“Kedatangan Ajisaka berniat menyerahkan dirinya untuk menjadi tumbal menggantikan perjaka atau pemuda yang saat itu belum tersedia untuk dimakan. Namun sebelum dijadikan tumbal Ajisaka minta satu syarat,” lanjutnya.
Syarat yang diajukan oleh Ajisaka menurut Kusno adalah agar Dewata Cengkar memberikan kepada Ajisaka tanah di sebelah selatan kerjaan Medangkamulan selebar ikat kepalanya. “Permintaan Ajisakapun dipenuhi,” ungkapnya.
Kemudian Dewata Cengkar menggelar ikat kepala Ajisaka di sebelah selatan kerajaan, namun Dewata Cengkar terkejut ketika mendapati bahwa ikat kepala Ajisaka saat digelar mendadak melebar secara ajaib, hingga tidak sadar Dewata Cengkar sudah berdiri di bibir laut selatan.
“Pada saat itulah Ajisaka kemudian mengeluarkan kesakitannya untuk menendang Dewata cengkar hingga terjatuh ke dalam laut selatan,” ujarnya.
Pada hari kemudian masyarakat Medangkamulan bergembira dan merasa damai ketika mendapati Dewata Cengkar sudah meninggal dalam wujud Bajul Petak (buaya putih) yang tergeletak di pantai laut selatan,
“kemudian tempat itu hingga kini dinamakan pantai Bajulmati (buaya mati) yang terletak di pesisir Kabupaten Malang, Jawa Timur,” terangnya.
Kusno menambahkan, dari cerita tersebut bisa diambil manfaatnya sebagai pedoman hidup bahwa hidup di dunia jangan berlaku angkara murka, jangan menciptakan kecemasan dan ketakutan pada masyarakat.
“Berkaitan dengan bulan Pedamaian Dunia ini kita bisa mengambil hikmah dari cerita tersebut bahwa kita wajib menjaga kerukunan, salaing menghargai, saling menjaga kerukunan, menjaga perbedaan, jangan semena-mena, adigang adiguna (sombong) merasa paling gagah, paling bersih, paling suci.
Ingat di atas langit masih ada laingit yang lebih tinggi. Sedang dzat maha tinggi hanya dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Esa,” pungkasnya.