MERCUSUAR/Dok – Perajin menyetak batu bata di Desa Muktisari, Kecamatan Kebumen.
KEBUMEN, Suaralama.id – Lahan kosong kini bertambah luas seiring datangnya kemarau. Kreativitas pun muncul dari para petani. Di mana areal sawah yang kosong karena tidak ditanami palawija, digunakan sebagai tempat produksi batu bata.
Perajin batu bata yang bermunculan itu menjadi pemandangan menarik. Seperti di Desa Jogopaten, Kecamatan Buluspesantren. “Ini sudah seperti tradisi membuat batu bata pada musim kemarau. Memang sekarang tidak seramai dulu,” ucap Jito (55), warga Desa Jogopaten.
Ia menggunakan sawahnya di Selatan Jalan Jogopaten – Klapasawit untuk dijadikan tempat produksi batu bata sejak. Awalnya ia ragu untuk memulai usahanya pada musim ini, lantaran sempat hujan. Namun tekadnya bulat dengan membuat pelataran (lantai tanah) untuk mencetak batu bata di sawahnya.
Di tempat itu pula proses produksi dilakukan, mulai menggali tanah, membuat adonan, mencetak dan mengeringkan batu bata. Tidak ketinggalan membuat sumur gali. “Produksinya secara manual dan produksi berhenti saat akan tanam padi lagi,” imbuhnya.
Berbeda dengan Kabib (50), warga Dusun Keteng, Desa Muktisari Kecamatan Kebumen, yang memproduksi batu bata setiap waktu. Ia tidak mengenal musim kemarau maupun hujan. “Ya memang kalau hujan jadi kendala,” kata Kabib yang telah menekuni profesinya selama 10 tahun.
Pria bertubuh kurus dengan kulit hitam ini tak jarang harus beradu dengan teriknya panas matahari saat memproduksi batu bata. Proses pembuatan batu di lahan yang ia sewa Rp 2 juta pertahun itu mampu membuat sekitar 200 batu bata dalam sehari.
Terkait pendapatan yang ia dapat untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Perbatu bata dihargai Rp 270. “Sehari bisa membuat sekitar 200 batu bata, saya jual ke pengepul dengan harga Rp 270, sehingga dapat sekitar Rp 54.000 perhari,” ucapnya. (rif)