WONOSOBO, suaralama.id – Polemik penempatan Pasar Induk Wonosobo masih terus bergulir. Hingga kini pasar yang telah dibangun pada 2020 lalu belum juga ditempati. Pedagang ingin segera menempati tempat yang baru sesuai lantainisasi atau sama dengan tempat mereka berjualan sebelumnya.
Salah satu pedagang mengatakan sudah bertahun-tahun dia menunggu pindah ke pasar yang baru dibangun pada akhir 2020. Dia mengaku pasrah soal penempatan, namun meminta agar ditempatkan seperti sedia kala.”Inginnya cepat pindah, kasihan pembeli kalau hujan jalanannya becek. Kalau bisa sama di lantai seperti dulu,” tutur pedagang sayur.
Begitu juga dengan salah seorang pedagang sandal, Agung (50). Sebelum kebakaran, lapaknya berada di lantai dasar atau kini di lantai satu. Dia mengatakan sudah beberapa kali mengikuti sosialisasi dari pemerintah soal penempatan pasar, tapi menurutnya belum ada kepastian lagi. “Saya di mana saja yang terbaik. Tapi saya ingin tetap lantainisasi walaupun tidak seluas sebelumnya,” tukas Agung, Jumat (17/6/2022).
Dalam sebuah wawancara, Ketua Paguyban Pedagang Pasar Induk Wonosobo (PPPIW) A. Fikri Wijaya menjelaskan, pedagang melalui PPPIW mengusulkan program lantainisasi, yang mana para pedagang akan menempati lantai semula. Hal ini bertolak belakang dengan konsep pemerintah yang membagi pedagan menurut dengan zona atau zoningisasi.
Pedagang, lanjut Fikri, ada yang tidak setuju dengan sistem yang ditawarkan pemerintah. Sebab dari situ, akan ada beberapa kelompok pedagang yang terlempar dari semula. Mereka ingin menempati lokasi awal karena bisa berjalan sesuai dengan dengan komunitasnya.
“Kalau dengan zoningisasi otomatis mereka akan terlempar ke lantai berikutnya. Dulu di pasar hanya ada tiga lantai, sekarang sudah ada empat lantai. Sementara jika memakai konsep zona teman-teman terlempar dari habitatnya, dan dikhawatirkan di space publik itu ada pendatang baru,” terang Fikri Kepada Suara Merdeka.
Fikri menegaskan pihaknya akan mendukung penuh pemerintah jika sistem lantainisasi ini dikabulkan dan siap membantu sampai pada hitungan teknis. Dia berharap pasar segera bisa ditempati. “Jangan sampai konsep dari pemerintah ini nantinya menimbulkan kegaduhan. Kasihan pemerintah sudah effort luar biasamembuat pasar dengan biaya besar tapi pemanfaatannya tidak maksimal,” kata Fikri yang juga merupakan pedagang barang elektronik ini.
Hal senada juga diutarakan oleh Kabid Usaha PPPIW Murkamtoro Prasetyo. Dia mengatakan pemerintah sudah berkali-kali mengadakan sosialisasi terhadap pedagang, namun mengapa belum juga direalisasikan.
“Kami sudah mendorong pemerintah, kalau memang yakin dengan konsep zona, segera diterapkan. Ada persoalan apalagi? Sekali lagi kami dorong, jangan sampai ada stigma bahwa yang menghambat penempatan adalah pedagang atau lebih spesifik PPPIW. Tapi, jika terjadi retensi pemerintah nanti yang mengatasi,” tandas Toro.
Berikutnya soal rasionalisasi, lanjut Toro, luasan lapak lebih menyempit dibanding dulu terjadi karena banyaknya ruang kosong yang digunakan untuk fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) yang mencapai angka empat ribu meter persegi. Misalnya saja di lantai satu ada sekitar 10 ribu lebih meter persegi, sekarang tinggal 6900 meter persegi. “Pertanyaan berikutnya, apakah pemerintah yakin dengan empat ribu meter persegi fasum dan fasos itu tidak dibangun lapak-lapak liar?” pungkas Toro. (ang)