Suaralama.id – Salah satu fenomena tersebut adalah munculnya sumber mata air yang mengeluarkan air dengan suhu hangat hingga panas. Keberadaan magma di perut bumi, celah bebatuan geologis yang menghubungkan magma tersebut dengan permukaan atas seringkali menjadi jalur yang dilalui air maupun gas. Seiring interaksi air dengan lingkungan geologis bersuhu tinggi, maka air yang mengalir itupun membawa panas hingga keluar saat menjadi mata air. Mata air inilah yang selanjutnya diistilahkan sebagai geyser. Fenomena inilah yang juga terjadi di wilayah yang disebut sebagai Guci di lereng Gunung Slamet.
Di beberapa negara subtropis, seperti daerah di wilayah selatan Kyusu, Jepang, yang memiliki banyak sumber mata air panas, wilayah tersebut kemudian terkenal sebagai daerah tujuan wisata hotsprings. Air panas yang keluar secara alamiah dari perut bumi tersebut kemudian disalurkan dan ditampung menjadi wahana pemandian air hangat yang banyak mengundang orang untuk mendatanginya. Di samping keberadaan pemandian air hangat, hotsprings itupun berkembang menjadi ratusan resort dan hotel yang menawarkan paket menginap plus sensasi mandi air hangat alamiah. Hal ini sangat serupa dengan Guci.
Adalah masa selepas kejayaan pemerintahan Kanjeng Sultan Agung di Mataram yang sempat nggecak perang ke Tanah Betawi pada abad 17, para penerus tahta Mataram selanjutnya senantiasa memiliki hubungan yang erat dengan jalur Pantai Utara Jawa. Hubungan itu termasuk kaitannya dengan keberadaan para cem-ceman, ataupun para selir. Serupa dengan kisah legenda Rara Mendut dari Pati hingga Rara Oyi dari Surabaya, tidak sedikit para tokoh dan pejabat Mataram setelah masa itu memiliki selir dari wilayah Pantai Utara, termasuk Tegal.
Konon keberadaan makam Sunan Tegalarum (Kanjeng Susuhunan Amangkurat Agung) yang mangkat semasa pelarian menuju Batavia di wilayah Tegal juga tidak terlepas dari kisah klasik para selir ataupun pengawal pribadinya yang keseluruhannya wanita berjumlah 30 yang terkenal dengan julukan trisatya kenya.
Merupakan sebuah kisah rahasia umum, jika diantara para selir-selir raja, penguasa, pejabat, ataupun kerabat darah keraton satu sama lain ingin senantiasa mendapat perhatian yang lebih dari para tuannya. Terjadilah persaingan satu sama lain. Satu sama lain senantiasa ingin tampil lebih cantik, lebih muda, lebih lenjeh, lebih menarik, yang pada intinya menjadi kesayangan yang lebih disayang daripada yang lain. Maka tidak ayal lagi pemandian air panas di Guci menjadi salah satu solusi untuk ngalap berkah kecantikan para putri selir tersebut. Semenjak itulah Guci tersohor sebagai tempat kungkum para selir untuk keawetan kecantikan dan keremajaannya.
Tidak sekedar mandi air panas sebagaimana kita mandi air panas yang kita jerang, prosesi mandi para selir tersebut tentu disertai dengan laku ritual khusus. Di samping sendang yang khusus, tentu keberadaan kembang tujuh rupa beserta berbagai rempah-rempah untuk perawatan kulit dan seluruh badan tidak ketinggalan. Demikian halnya soal waktu pelaksanaan kungkum juga dipilih pada malam-malam khusus yang dianggap sakral dan wingit. Konon malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon menjadi pilihannya. Hal ini paling khusus dilakukan di petilasan yang disebut sebagai Pancuran Tiga Belas.(joe)